Perawatan Pasien Covid-19 di Singapura Menggunakan Remdesivir

— Tim dokter di Singapura tengah melakukan uji klinis remdesivir untuk penanganan pasien infeksi virus corona (Covid-19). Obat yang mulanya dibuat untuk mengatasi Ebola itu kini diberikan ke beberapa pasien Covid-19 di Singapura.

Langkah tersebut merupakan bagian dari uji klinis.

Dikutip dari Channel News Asia, dokter Shawn Vasoo yang merupakan Direktur Klinis di Pusat Nasional untuk Penyakit Menular (NCID) menjelaskan bahwa memang belum ada terapi yang terbukti manjur untuk menangani pasien virus corona jenis baru (SARS-CoV-2). Namun remdesivir diketahui sebagai salah satu di antara sejumlah obat yang tengah diuji coba dalam upaya penyembuhan pasien Covid-19.

NCID merupakan bagian dari kelompok kerja yang diumumkan oleh Menteri Kesehatan Gan Kim Young pada Maret 2020 lalu. Tim ini akan mengamati seberapa menjanjikan kerja obat-obatan yang digunakan dan kemungkinan terapi yang bisa dilakukan untuk mengobati virus yang hingga Rabu (6/5) telah menginfeksi lebih 3,6 juta orang di seluruh dunia.

Termasuk juga untuk obat antivirusnya, obat antiinflamasi, terapi humoral seperti plasma dari pasien yang sembuh hingga vaksin.

Kelompok kerja itu nantinya juga akan memberikan evaluasi kritis terhadap perawatan dan menjawab sejumlah pertanyaan mengenai rejimen pengobatan atau reaksi yang berpotensi merugikan.

Pasien yang telah mendaftar jadi bagian dari uji klinis akan menerima remdesivir atau juga sebuah plasebo. Lantas mereka akan termasuk dalam kelompok kontrol yang diamati.

“Beberapa uji coba ini mungkin disponsori industri, seperti misalnya, remdesivir. Atau dikerjakan bersama badan nasional atau internasional lainnya,” jelas dokter Vasoo.

“Kelompok kerja juga akan meninjau bukti yang ada dan menyusun rekomendasi untuk terapi pasien Covid-19 dalam bentuk panduan. Sebab hingga kini, belum ada terapi yang terbukti ampuh untuk Covid-19. Maka penting bahwa uji klinis yang kuat harus dilakukan,” lanjut dia lagi.

Remdesivir merupakan obat antivirus yang disebut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai salah satu terapi yang menjanjikan untuk pasien Covid-19. Ada pula obat lain yang disebut misalnya dua obat HIV dan obat anti-malaria yakni chloroquine serta hydroxyxhloroquine.

Pada awal Mei 2020 ini, FDA menyetujui penggunaan darurat obat buatan Gilead Sciences tersebut untuk pasien virus corona dengan gejala yang parah. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat ini mendefinisikan parah sebagai kondisi dengan kadar oksigen rendah, butuh terapi oksigen atau, perlu menggunakan ventilator.

Vaksin Remdesivir merupakan antivirus yang dikembangkan perusahaan bioteknologi yang berbasis di Amerika Serikat, Gilead Sciences.

Penelitian The US National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) menunjukkan, pasien yang menggunakan obat ini memiliki kurun waktu pemulihan yang lebih cepat dibanding pasien yang hanya mendapatkan plasebo.

Waktu rata-rata pemulihan untuk pasien dengan remdesivir adalah 11 hari. Sementara pasien yang hanya diobati dengan plasebo membutuhkan waktu pemulihan hingga 15 hari.

Kendati, uji coba obat di Wuhan, China–episentrum pertama pandemi–menunjukkan tak ada manfaat dalam hal waktu pemulihan ataupun kematian.

“Dalam penelitian pada pasien dewasa di rumah sakit, remdesivir tidak dikaitkan dengan manfaat klinis yang signifikan secara statistik,” tulis laporan yang dirilis jurnal Medis Lancet.

Karena itu dokter Vasoo masih akan menunggu hasil lengkap uji coba yang dilakukan NIAID dan data lebih lanjut mengenai remdesivir. Sembari, kata dia, menanti hasil uji coba dari agen lain seperti obat imunomodulasi (antiinflamasi), tocilizumab.

“Sementara ini, andalan untuk pasien Covid-19 adalah ICU suportif dan dukungan ventilator bagi mereka yang menderita penyakit parah,” tutur Vasoo.